Realitas
menunjukan bahwa fenomena godaan untuk “selingkuh’’ selalu terjadi dimana saja,
pada siapa saja dan kapan saja. Fenomena selingkuh mengancam esensi dari
kesetiaan dalam hubungan perkawinan. Gereja dalam medan pastoral senantiasa
berusaha menyuarkan tentang perlunya kesetiaan suami dan istri serta tanggung
jawab dalam membangun bahtera rumah tangga. Fondasi paling kokoh dalam
membangun sebuah hubungan yang harmonis adalah cinta sejati. Cinta sejati hanya
menunjuk pada dua pribadi yang saling mencintai. Sehingga “Cinta disempurnakan
dalam kesetiaan” (Soren Kierkegaard 1813-1855).
Konsekuensi hubungan perkawinan
merupakan kesetiaan dan kerelaan untuk bersama dalam memahami batasan dan
bertanggung jawab satu sama lain. Permasalahan ketidaksetiaan (selingkuh)
yang sering terjadi sangatlah kompleks, bukan sebuah permasalahan baru. Hampir
sebagian besar permasalahan dalam rumah tangga selalu timbul dari
ketidakpahaman akan batasan dan tanggung jawab sebagai suami dan istri.
Fenomena selingkuh yang terjadi dalam lingkungan masyarakat kerap kali menjadi
sumber masalah dan menggangu tatanan sosial. Penyebabnya adalah kurangnya
pemahaman masyarakat tentang moralitas seksual.
Berbicara
mengenai moralitas seksual ; moral selalu menjadi acuan tingkah laku apakah
baik atau buruk, berguna atau tidak. Ketika seseorang berlaku baik ia akan
disebut sebagai “bermoral” sebaliknya jika buruk ia tidak bermoral dalam
penilaian sosial masyarakat. Setiap perilaku memiliki standar moralnya
masing-masing yang diakui secara etika universal yang mencakup keseluruhan
tindakan etis, asas dan nilai-nilai luhur diakui masyarkat secara universal.
Menyangkut Moralitas seksual merupakan ungkapan yang tepat terhadap
dorongan, keintiman, cinta dan penerusan keturunan, yang memegang peran
sedemikian penting dalam hubungan antarpribadi kita (Rausch, 2001:232). Gereja secara jelas
mengakui bahwa seksualitas merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada
manusia sejak zaman nenek moyang untuk melanjutkan keturunan dengan
mendatangkan kehidupan baru di dunia ini. Pandangan ini bersumber pada Kitab
Suci (Kej 1:28) bahwa seks semata - mata
untuk prokreasi (penciptaan manusia baru) dan demi kasih timbal balik antara satu
laki-laki dan satu perempuan.
Terkait dengan hal
ini, ditegaskan pula dalam Sepuluh Perintah Allah dimana ada dua firmanNya yang
langsung merujuk pada moralitas seksual, yaitu melarang perzinahan dan
mengidamkan istri tetangga merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum -Nya.
(Baca Kitab Keluaran 20:14, 17; Kitab Ulangan 5:18, 21). Perbuatan seks diluar
nikah (selingkuh) karena pada hakekatnya seks hanya diperbolehkan secara
sah bagi suami istri yang sudah menikah. Perbuatan ini dipandang sebagai
perbuatan cabul. Dalam Kitab Suci, hal ini dapat dilihat jelas dalam Injil Mrk
7:21, Mat 15:19, Sir. 42:10, Im 19:29, Mrk 7: 21, Mat 15:19. Allah memberikan
laki - laki dan perempuan laki - laki kepada satu sama lain sehingga mereka
“bukan lagi dua melainkan satu” Mat 19:6. Dengan cara ini mereka hidup dalam
kasih, berbuah, dan dengan demikian menjadi tanda Allah sendiri, yang tidak
lain adalah cinta yang meluap (KGK. 1601-1605)
Sejatinya bahwa
perlu disadari, dihayati dan dihidupi dalam hidup perkawinan bahwa perkawinan
katolik adalah monogami. Perkawinan yang tak terpisahkan dan tak menduakan.
Dalam konteks selingkuh kesetian yang dibutuhkan adalah kesetiaan sejati bukan
kesetiaan semu. Titik tolak keesetiaan perkawinan ini karena memiliki tiga
alasan utama; pertama, karena esensi dari cinta adalah saling memberi
diri tanpa syarat; kedua,karena ini merupakan gambar kesetiaan tanpa
syarat dari Allah bagi ciptaan-Nya; dan ketiga, karena ini merupakan pengabdian Kristus kepada
Gereja-Nya, bahkan sampai wafat dikayu salib.
Dengan begitu saat
diperhadapkan dengan situasi godaan untuk tidak setia “selingkuh”. Suami maupun
istri yang adalah individu berkesadaran perlu menyadari nilai standar moral,
nilai universal dan nilai moralitas seksual menurut prespektif gereja
(objektivitas moral). Panggilan sejati dari sebuah perkawinan yakni
panggilan untuk hidup bersama setia selamanya, dalam untung dan malang, tanpa
berpaling ke lain hati.
Oleh : Fr. Nahazon Da Costa Kire
Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Madira Kupang
